Buah Rerak Pengendali Keong Mas

rerak, keong mas
Keong mas (Pomacea canaliculata) yang tahun 1981 diperkenalkan sebagai hewan hias di Indonesia kini telah menjadi salah satu hama utama bagi tanaman padi. Diketahui mulai menyerang padi sawah negeri ini tahun 1990, luas serangan terus meningkat mencapai lebih dari 16 ribu hektar tahun 2004. Pada serangan kecil-kecilan, pengendaliannya bisa cukup dengan cara pengendalian hama terpadu (PHT). Sedangkan untuk serangan besar, salah satu teknologi yang bisa diterapkan ialah aplikasi pestisida.

Hendarsih Suharto dan rekan dari Balai Besar Penelitian Tanaman Padi di Sukamandi mengatakan bahwa sampai saat ini cara pengendalian yang paling banyak dilakukan di Indonesia ialah secara mekanis dengan mengambil keong mas untuk dimusnahkan. Tetapi cara inipun dilakukan kurang intensif sehingga populasi di lapangan terus meningkat. Bila serangannya besar yakni populasi sangat tinggi, aplikasi pestisida menghadapi kendala belum adanya pestisida anorganik  terdaftar untuk pengendalian keong mas di Indonesia.

Untuk pemanfaatan potensi pestisida nabati di Indonesia, khususnya untuk mengidentifikasi yang paling efektif dan aman terhadap lingkungan, maka Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi telah melakukan pengujian pendahuluan pada skala laboratorium. Hendarsin Suharto dkk yang mengungkapkan hasil penelitian itu belum lama ini menyimpulkan bahwa buah rerak (Sapindicus rarak) merupakan pestisida yang cukup efektif untuk mengendalikan keong mas, serta paling aman terhadap siput lokal dan ikan mas.

Keong mas menyerang tanaman padi muda yang tergenang air dengan cara memarut pangkal batang yang berada di bawah air dengan lidahnya. Patahan tanaman yang rebah lalu dimakan. Petani harus menyulam tanaman yang sudah rusak.

Uji lapang yang dilakukan di BPPTP Sukamandi menunjukkan bahwa saponin (produksi Taiwan) dan buah rerak konsisten dapat mengurangi tingkat serangan keong mas dan efektivitasnya tidak berbeda dengan mokuskisida sintetis niklosamida. Dibanding dengan pestisida nabati lainnnya seperti biji teh, nimba, gadung maka rerak dan saponin lebih aman terhadap siput lokal (yang biasa ada di bawah dan bisa dikonsumsi) serta ikan mas (pada usaha mina padi).

Pada percobaan tersebut konsentrasi saponin yang digunakan adalah 0,1 ml/l dan rerak (buah yang sudah diremukkan) juga 0,1 ml/l.

Kesimpulan lain yang diperoleh ialah bahwa toksisitas pestisida nabati tergantung pada ukuran keong mas. Pada aplikasi rerak, keong kecil lebih cepat mati dibandingkan ukuran yang lebih besar, sedangkan pada aplikasi saponin ukuranya tidak berpengaruh.

Terbukti pula bahwa aplikasi pestisida nabati pada waktu sebelum tanam lebih efektif  dibanding aplikasi dua hari setelah tanam.

Mengenai aspek ketersediaan bahan dan biaya untuk pemanfaatan buah rerak, Hendarsin mengakui tanaman ini semakin langka. Beberapa tahun yang lalu harga buah rerak di pasar masih sekitar Rp. 2.000,-/kg kini sudah Rp. 15.000,-/kg. oleh karena itu ia menganjurkan sosialisasi aplikasi rerak untuk pengendalian populasi tinggi keong mas disertai dengan sosialisasi pelestarian dan penanaman lebih banyak tanaman rerak. Daging buah rerak (yang berbuih bila diremukkan) mengandung senyawa saponin sekitar 12%, disamping flavonida, alkoloida dan polifenol.

Mengenai pestisida nabati saponin, diungkapkan bahwa yang ex-impor dibuat dari limbah industri minyak biji teh. Di China dan Jepang, teh ditanam dari Camellia sinensis var. Sinensis untuk daun dan buahnya, sedangkan di Indonesia yang ditanam Camellia sinensis var. Assamica yang dimanfaatkan hanya daunnya, sehingga industri minyak biji teh tidak berkembang di Indonesia.

Mengenai aplikasi lapangan, Hendarsin menekankan yang penting adalah konsentrasi larutan rerak atau saponin. Untuk keamanan ikan mas, konsentrasi saponin perlu disesuaikan. Secara umum, kebutuhan per hektar aplikasi rerak dan saponin (konsentrasi 0,1 ml/l) adalah 50 kg.

Pestisida nabati lain juga bisa diaplikasikan untuk pengendalian keong mas populasi tinggi asalkan disesuaikan konsentrasinya untuk keamanan sesuai kondisi lingkungan setempat.


Sumber : Majalah Sinar Tani Edisi 16-22 Mei 2007