Yang namanya kotoran, baik yang dihasilkan oleh hewan maupun manusia, sebenarnya mah bisa dimanpaatkan sebagai salah satu bahan dalam pembuatan pupuk organik. Hanya ada sebagian kotoran, misalnya kotoran manusia, yang sementara ini masih “tabu” atau kurang layak untuk dijadikan bahan pupuk karena dianggap bertentangan dengan norma-norma sosial kemasyarakatan. Mungkin alasan éta téh hanya mengacu pada rasa “geli” yang timbul dari dalam diri manusianya saja. Alasan yang demikian téh sebenarnya tidak bisa dijadikan sebagai dasar penilaian. Karena dalam mengubah kotoran menjadi pupuk itu ada beberapa tahapan proses yang harus dilewati agar pupuk yang dihasilkannya benar-benar memenuhi standar yang disyaratkan. Jadi... tidak ada alasan untuk merasa jiji, bukan?
Demikian pula untuk mengubah kotoran kelinci menjadi pupuk yang bisa bermanfaat bagi tanaman téh, juga diperlukan beberapa tahapan kegiatan. Kegiatan atau proses ini mungkin saja sama atau malah berbeda cara dan perlakuan dengan pembuatan pupuk organik yang bahannya dari kotoran hewan lain. Yang penting mah adalah hasilnya, yaitu pupuk organik yang berkualitas.
Berikut adalah tahapan kegiatan yang harus dilakukan dalam pembuatan pupuk dengan memanpaatkan kotoran kelinci:
Siapkan wadah dengan kedalaman kurang lebih 10 cm. Masukkan serbuk gergaji (yang terbaik mah serbuk dari pohon kelapa) secukupnya ke dalam wadah. Lalu masukkan kelincinya (tanpa kandang) ke dalam wadah tersebut. Supaya kelinci tidak keluar wadahnya téh harus diletakkan di tempat yang tinggi. Atau, bisa juga kandangnya ditempatkan langsung di atas wadah tadi. Nantinya kotoran dan air kencing kelinci akan langsung bercampur dengan serbuk gergaji.
Biasanya mah setelah 3-4 hari atau dengan adanya jamur yang tumbuh di serbuk gergaji, serbuk gergaji téh sudah jenuh dengan kotoran kelinci. Jamur yang tumbuh itu téh untuk makanan bakteri. Selanjutnya, serbuk gergaji yang berisi kotoran kelinci téh dipindahkan ke ember kemudian masukkan air panas ke dalamnya sampai seluruh serbuk gergaji terendam. Biarkan campuran basah éta téh selama dua hari.
Setelah dua hari cairan campuran bahan téh disaring. Cairan hasil saringan kemudian difermentasi. Agar semua bagian mendapatkan udara (teraerasi) atau dipermukaan timbul bintik-bintik putih (jamur), cairan téh harus diaduk-aduk. Munculnya bintik-bintik putih éta téh menjadi pertanda bahwa senyawa organik dalam cairan tersebut belum terurai dengan sempurna. Ulang pengadukan sampai bintik putihnya hilang, biasanya mah perlu waktu kurang lebih 21 hari.
Setelah bintik putih tidak muncul lagi berarti kondisi cairan éta téh telah stabil dan dapat dijadikan sebagai pupuk organik cair yang bisa bertahan lama karena mengandung bakteri yang mempunyai sistem pertahanan diri. Pengaplikasiannya mah bisa disemprotkan pada daun untuk mempercepat proses asimilasi atau disemprotkan pada tanah. Dosis penggunaannya cukup empat mililiter pupuk dicampur dengan satu liter air.
Ampas sisa penyaringannya téh jangan dibuang karena dapat digunakan langsung sebagai pupuk organik padat atau diolah lebih lanjut agar jadi pupuk yang lebih sempurna dengan cara dijadikan sebagai media hidup cacing tanah. Setelah ampas habis dimakan cacing materialnya téh akan berubah yaitu berupa kotoran cacing yang bentuknya menyerupai tanah. Tanah kotoran cacing ini téh biasanya disebut dengan istilah kascing (bekas cacing). Kascing dapat digunakan untuk pupuk tanaman atau dimanpaatkan sebagai media pembibitan dalam wadah gelas bekas air dalam kemasan atau wadah lainnya.