Setiap orang pasti menghasilkan sampah. Namun, bisa dikatakan tak seorang pun yang sesungguhnya mau tinggal di lokasi tempat sampah terkumpul. Selain bau yang menyengat, dampak dari sampah pun sulit untuk disepelekan.
Jika di sekeliling kita bersih dari sampah, bukan berarti sampah itu sudah lenyap. Sampah hanya berpindah tempat. Untuk membuat sampah lenyap total, agak mustahil. Apalagi mengingat kesadaran sebagian masyarakat yang masih rendah untuk mengurangi produksi sampah.
Sampah sudah menjadi masalah di banyak kota. Di Bandung, misalnya, sampah terlihat di setiap sudut kota. Di tempat pembuangan akhir sampah Bantar Gebang, Bekasi, awal September 2006 lalu, sampai memakan korban jiwa. Gunungan sampah yang tingginya lebih dari 12 meter longsor, sejumlah pemulung di tengah malam itu pun tertimbun. Tiga orang di antaranya tewas, dan enam orang luka-luka.
Tingginya gunungan sampah di Bantar Gebang, antara lain disebabkan belum adanya pengelolaan dan pemisahan sampah dari masyarakat. Tidak banyak warga yang menggunakan tempat sampah yang berbeda untuk memisahkan berbagai jenis sampah. Misalnya, memakai tong sampah biru untuk sampah basah (organik) dan tong sampah oranye untuk sampah kering (non-organik).
Padahal pengelolaan dan pemisahan sampah merupakan tanggung jawab setiap orang, karena mereka ikut memproduksi sampah. Masyarakat sebenarnya bisa ikut mengurangi dampak dari sampah dengan memisahkan sampah organik dan non-organik mulai dari rumah. Selain itu, mereka juga bisa mengolah sampah, baik organik maupun non-organik, menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat.
Sampah basah bisa dimanfaatkan untuk kompos, sedangkan sampah non-organik bisa dimanfaatkan untuk didaur ulang menjadi berbagai macam barang. Misalnya, membuat topi dari kantong plastik bekas pembungkus makanan, sedotan untuk bunga atau taplak meja, dan kemasan plastik bekas detergen atau pelembut pakaian untuk tempat sepatu.
Sampah basah yang bisa dijadikan kompos adalah sampah yang mudah hancur atau larut, seperti potongan sayuran bayam, kangkung, singkong, jagung, dan sayuran basi. Pisahkan sampah basah tersebut dari sampah plastik, kardus, kertas, bekas minyak, oli, air sabun, dan sebagainya.
Untuk membuat kompos, diperlukan ember plastik atau gentong plastik yang telah diberi lubang, dan ditancapkan pipa untuk saluran udara. Saluran udara ini berguna untuk memasukkan oksigen. Namun, untuk mencegah masuknya lalat ke dalam gentong atau ember, lubang pipa harus diberi kawat kasa.
Setelah ember siap, sampah hijau berupa sisa sayuran, buah, potongan rumput, daun segar, dan sebagainya bisa dimasukkan. Sebaiknya sampah hijau ini dicincang dulu, atau diiris kecil- kecil agar mempercepat proses penghancuran.
Campur sampah hijau ini dengan sampah coklat (serbuk gergaji, sekam, daun kering). Campuran kedua jenis sampah ini memakai perbandingan 1:1. Tambahkan kompos yang sudah jadi atau lapisan tanah atas (top soil), kemudian diaduk. Jangan lupa sirami dengan air sedikit untuk menjaga kelembaban. Bila ingin mempercepat proses pengomposan dapat ditambahkan larutan EM TANI.
Setiap tiga hari sampah di ember itu diaduk untuk memasukkan oksigen dan menurunkan panas yang timbul karena proses pengomposan. Jika tampak kering, basahi lagi dengan air. Pengomposan telah selesai jika campuran menjadi kehitaman dan tidak berbau sampah.
Pembuatan kompos bisa dilakukan sekaligus, atau selapis demi selapis. Misalnya setiap dua hari ditambah sampah yang baru (sampah hijau dan sampah coklat).
Kompos bermutu tidak menimbulkan efek-efek yang merugikan bagi pertumbuhan tanaman. Penggunaan kompos yang belum matang akan menyebabkan terjadinya persaingan bahan nutrisi antara tanaman dengan mikroorganisme tanah. Ini justru akan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tanaman.
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), kompos yang sudah matang atau jadi mempunyai suhu yang sama dengan suhu air tanah. Kompos ini berwarna hitam dan bertekstur seperti tanah. Kompos juga harus berbau seperti tanah. Kompos yang sudah jadi tidak boleh mengandung bahan pengotor organik atau non-organik seperti logam, gelas, plastik, dan karet. Pencemar lingkungan seperti senyawa logam berat, B3, dan kimia organik seperti pestisida juga tidak boleh ada dalam kompos ini.
Sampah tidak hanya bisa dibuat menjadi kompos atau pupuk padat. Sampah juga bisa dibuat sebagai pupuk cair. Pupuk cair mempunyai banyak manfaat. Selain untuk pupuk, pupuk cair juga bisa menjadi aktivator untuk membuat kompos atau disiramkan ke lubang WC agar limbah tinja di dalam septik tank menjadi padat. Dua liter pupuk cair bisa menghemat penyedotan tinja. Jika biasanya setahun sekali tinja harus disedot, kini bisa menjadi dua tahun sekali.
Untuk membuat pupuk cair adalah:
1. Cincang sampah hijau seperti sisa sayuran, sayuran basi, dan sebagainya.
2. Siapkan tong plastik atau tong bekas wadah cat tembok ukuran 25 kg, lengkap dengan tutupnya. Siapkan juga kantong plastik ukuran 60 cm x 90 cm dan beri beberapa lubang sebesar 1 cm. Lubang ini untuk memperlancar sirkulasi air dalam tong.
3. Siapkan ¼ kg gula merah yang sudah dilarutkan.
4. Siapkan 1 liter bahan EM TANI untuk mempermudah proses pelarutan.
5. Siapkan ½ liter air cucian beras.
6. Siapkan 10 liter air tanah. Untuk hasil maksimal jangan gunakan air hujan atau air PAM.
7. Campur air cucian beras, EM TANI, dan larutan gula ke dalam tong plastik. Sementara itu cincangan sampah hijau dimasukkan ke dalam kantong plastik yang sudah dilubangi. Setelah itu, masukkan kantong plastik ini ke dalam tong plastik dan tambahkan air tanah.
8. Ikat kantong plastik berisi sampah hijau itu dan tutup pula tong plastik itu dengan rapat selama tiga minggu (21 hari).
9. Setelah tiga minggu, sampah dalam tong kelihatan menyusut. Angkat sampah itu hingga air tiris. Sampah dari dalam plastik menjadi pupuk padat, sedangkan air dalam tong menjadi pupuk cair.